Widura



Widura atau Yamawidura  adalah salah satu tokoh protagonis dalam wiracarita Mahabharata. Ia adalah putera ketiga Resi Byasa (Abyasa), dan itu berarti ia adalah adik dari Pandu dan Dretarastra.Widura adalah seorang yang bijaksana dan ahli dalam bidang hukum.
Dalam kitab Adiparwa atau Mahabharata bagian pertama, diceritakan bahwa Satyawati istri Prabu Santanu  meminta agar Abiyasa mengadakan yajna (upacara) untuk kedua janda Wicitrawirya agar memperoleh keturunan. Karena sewaktu Citranggada dan Wicitrawirya meninggal, mereka belum memberikan keturunan sebagai penerus takhta kerajaan, sementara anak kandung Prabu Santanu, Bisma sudah terikat dengan sumpahnya bahwa ia tidak akan menikah seumur hidupnya dan juga tidak akan mewarisi takhta Hastinapura. Oleh karena itu, Satyawati meminta Byasa, putera kandungnya dengan Palasara agar melaksanakan upacara tersebut.
Ambika yang mendapat giliran pertama, saat menghadap Byasa ia takut kemudian menutup wajahnya, maka anak yang dilahirkannya pun buta, yaitu Dretarastra. Kemudian Ambalika, saat menghadap Byasa, ia tidak menutup wajahnya, tetapi karena takut, wajahnya menjadi pucat, dan anak yang dilahirkannya pun wajahnya pucat yaitu Pandu.
Satyawati belum puas karena kedua putera yang dilahirkan menantunya mengalami cacat fisik. Maka ia meminta kepada Byasa, untuk melakukan satu kali lagi. Namun Ambika dan Ambalika tidak mau menghadapa Byasa lagi, maka mereka meminta seorang pelayan untuk menghadap Byasa. Sang pelayan saat menghadap Byasa tidak takut dan tenang, maka Byasa berkata bahwa anak yang kelak akan dilahirkannya akan menjadi anak yang berperilaku mulia, dan merupakan penjelmaan Dewa Dharma. Anak itu adalah Widura, atau Yamawidura.
Widura saat masih muda belajar di bawah bimbingan Bisma bersama kedua saudaranya, Pandu dan Dretarastra. Widura adalah sosok yang bijaksana bahkan paling bijaksana diantara kedua saudaranya. Ia belajar menjadi menteri raja, Pandu diangkat menjadi panglima perang, sedangkan Dretarastra dipilih sebagai putera mahkota. Karena Dretarastra buta, Pandu menggantikannya dan memerintah atas nama Dretarastra, sedangkan Widura menjadi penasihat raja menemani Dretarastra.
Widura adalah orang yang paling tanggap ketika Korawa memiliki niat untuk menyingkirkan Pandawa. Maka saat para Pandawa dan Kunthi diundang Sengkuni dan para Korawa untuk menghadiri pesta di puncak pegunungan Waranata, Widura memberi peringatan dan nasihat kepada Yudhistira, Bima dan para Pandawa yang lain, agar selalu waspada. Yamawidura juga memerintahkan Kanana, agar membuat terowongan rahasia yang sewaktu-waktu bisa menjadi jalan penyelamatan saat terjadi sesuatu di Bale Sigala-gala.
Widura juga berusaha mendamaikan pertikaian antara Pandawa dan Korawa mengenai masalah Hastinapura. Ia menghubungi para sesepuh Pandawa dan Korawa, diantaranya adalah Resi Bisma, Resi Drona, Prabu Dretarastra, Sri KresnaYudhistira dan Doryudana untuk mendiskusikan masalah tersebut. Ketika perang antara Pandawa dan Korawa meletus, Widura tidak turut turun ke medan laga, ia tetap tinggal di Hastinapura, meskipun ia tidak memihak para Korawa.
Dalam pewayangan Jawa, Widura lebih dikenal dengan Yamawidura, ia berkeduduan sebagai adipati Pagombakan, yaitu negeri kecil bawahan Hastinapura. Ia adalah putera ketiga Abiyasa dengan seorang dayang bernama Datri. 
Namun dalam pewayangan Jawa, diceritakan saat Datri menyamar menjadi Ambalika untuk memperoleh keturunan, Datri juga ketakutan saat bertemu dengan Abyasa. Ia mencoba lari keluar kamar, akibatnya , Datri melahirkan bayi berkaki pincang yang diberi nama Widura.
Widura menikah dengan Padmarini, puteri Dipacandra dan Pagombakan, bawahan negeri Hastina. Widura kemudian menggantikan kedudukan Dipacandra, setelah mertuanya meninggal. Ia memiliki patih bernama Jayasemedi. Widura memiliki putera bernama Sanjaya, yang menjadi juru penuntun Dretarastra. Namun dalam versi Mahabharata, antara Widura dan Sanjaya sama sekali tidak ada hubungan darah.
Setelah sepeninggal Pandu, Pandawa tidak menetap di Hastina, melainkan tinggal bersama Widura di Pagombakan. Widura mendidik kelima keponakannya agar menjadi manusia-manusia utama.
Saat Pandawa dijebak oleh para Korawa dalam Balai Sigala-gala, Widura sebelumnya sudah membangun terowongan rahasia di bawah balai tersebut. Melalui terowongan itulah para Pandawa dan Kunthi, berhasil meloloskan diri dari maut.
Widura dikisahkan berumur panjang, sementara puternya Sanjaya, gugur dalam perang Baratayuddha saat melawan Karna. Widura meninggal saat bertapa di hutan setelah para Pandawa berhasil mendapatkan kembali kekuasaan atas negeri Hastinapura.
Posted on 17.36 / 0 komentar / Read More

Aswatama



Aswatama atau Ashwatthaman adalah salah satu tokoh yang muncul dalam wiracaritaMahabharata atau Bharatayuddha. Ia adalah putera Begawan Drona, guru para Pandawa dan Korawa dengan Dewi Krepi. Ia memiliki sifat pemberani, cerdik dan pandai mempergunakan segala macam senjata. Aswatama belajar ilmu perang bersama para pangeran Kuru di bawah bimbingan ayahnya sendiri yaitu Resi Drona. Ia memiliki keterampilan dalam ilmu memanah, dan kemampuannya hampir sama dengan Arjuna, murid kesayangan ayahnya.
Saat perang akbar antara Pandawa dan Korawa meletus, Aswatama berada di pihak Korawa. Untuk membangkitkan semangat pasukan Korawa setelah dipukul mundur pasukan Pandawa, Aswatama memanggil senjata Narayanastra yang dahsyat, mengetahui hal itu, Kresna membuat sebuah taktik dan senjata itu berhasil diatasi. Ia juga memanggil senjata Agneyastra untuk menyerang Arjuna, namun senjata itu berhasil dimentahkan oleh senjata Brahmastha.
Dengan taktik Kresna juga, Begawan Drona, ayah Aswatama meninggal di tangan Drestadyumna putera Raja Drupada dari kerajaan Panchala. Kresna meminta Bima untuk membunuh gajah bernama Aswatama. Sebelum perang dimulai Begawan Drona pernah berkata bahwa ia tidak akan mengangkat senjata jika menerima kabar buruk dari orang yang diakui kejujurannya. Bima melakukan perintah Kresna, ia membunuh gajah bernama Aswatama, setelah itu ia teriak sekeras-kerasnya, bahwa Aswatamatelah tewas. Kabar itu terdengar oleh Begawan Drona, maka ia pun bertanya kepada Yudhistira yang terkenal akan kejujurannya, Yudhistira kemudian menjawab bahwa benar Aswatama telah tewas, tetapi ia tidak bisa memastikan apakah manusia atau bukan.Karena kabar itulah, Begawan Drona kehilangan semangat hidupnya dan ia gugur di tangan Drestadyumna.
Mengetahui bahwa ayahnya tewas di tangan Drestadyumna, Aswatama marah dan ingin membalas dendam. Dengan izinDoryudana, Aswatama berhasil membalaskan dendamnya, ia membunuh Drestadyumna secara brutal setelah perang berakhir. Ia juga membunuh putera  kelima Pandawa dengan Dropadi yang dikenal dengan Pancawala setelah perang berakhir.
Pandawa marah dengan apa yang dilakukan oleh Aswatama, Arjuna memburu dan terjadilah pertarungan diantara keduanya. Dalam pertarungan itu, Aswatama memanggil senjata “Brahmasta” begitu juga dengan Arjuna, takut akan kehancuran dunia, Begawan Byasa (Abiyasa) meminta keduanya agar segera menarik senjatanya kembali.
Arjuna berhasil melakukannya, tetapi Aswatama kurang pandai menguasai senjata itu sehingga tidak bisa menariknya. Ia kemudian diberi pilihan agar senjata itu menyerang target lain untuk dihancurkan. Masih dengan penuh rasa dendamnya, Aswatama mengarahkan senjata itu kearah rahim  Utara, menantu Arjuna, istri Abimanyu.
Senjata itu membakar janin Utara, Namun Kresna berhasil menghidupkannya kembali. Aswatama kemudian dikutuk oleh kresna agar menderita kusta dan mengembara di bumi selama 6000 tahun sebagai orang buangan tanpa rasa kasih sayang.
Dalam versi lain diceritakan bahwa Aswatama dikutuk Kresna agar hidup sampai akhir zaman Kaliyuga. Legenda juga mengatakan bahwa Aswatama mengembara ke daerah yang sekarang dikenal senagai semenanjung Arab. Dalam legenda lain mengatakan, bahwa Aswatama masih mengembara di dunia dalam wujud badai dan angin topan.
Sebuah benteng kuno dekat Burhanpur India yang dikenal dengan Asirgarh memiliki kuil suci Siwa di puncaknya. Konon setiap subuh Aswatama mengunjungi kuil tersebut untuk mempersembahkan bunga mawar merah. Orang yang bisa menyaksikan peristiwa itu konon akan menjadi buta atau kehilangan suaranya. Di Gujarat, India, ada Taman Nasional Hutan Gir yang dipercaya sebagai tempat Aswatama mengembara dan konon masih hidup di sana sebagai seorang Chiranjiwin.
Dalam pewayangan jawa, Aswatama dikenal sebagai putera Begawan Drona dengan Dewi Krepi, puteri Prabu Purungaji dari negara Tempuru. Aswatama berambut dan bertelapak kaki kuda, hal ini dikarenakan, ketika awal mengandung dirinya, Dewi Krepi sedang beralih rupa menjadi Kuda Sembrani dalam upaya menolong Bambang Kumbayana (Resi Drona ), menyeberangi lautan.
Aswatama berasal dari padepokan Sokalima, dan dalam perang Bharatayuddha ia memihak Korawa. Ia bersama para pangeran kuru mendapat ajaran ilmu perang dari ayahnya, Resi Drona. Ia mendapat pusaka yang sangat sakti dari ayahnya bernama Cundamanik.
Pada perang Bharatayuddha, Drona,ayah Aswatama gugur karena siasat para Pandawa. Mereka sengaja membunuh gajah yang bernama Aswatama, agar Begawan Drona menjadi kehilangan semangat hidup (Resi Drona mengira yang tewas adalah Aswatama puteranya). Untuk membalas dendam atas kematian ayahnya, Setelah perang Bharatayuddha berakhir, Aswatama menyelundup ke dalam istana Hastinapura. Ia berhasil membunuh Drestadyumna (Pembunuh ayahnya), Pancalawa (disini, Pancawala adalah putera Yudhistira dengan Dropadi), Banowati, dan Srikandi. Aswatama akhirnya ia mati di tangan Bima, badannya hancur dipukulGada Rujakpala.
Posted on 17.33 / 0 komentar / Read More

Bale Sigala-Gala



Bimasena menghadap sanga Raja Hastinapura, Prabu Dretarastra. Namun, ia tidak menceritakan apa yang menimpa dirinya di kedung Sungai Gangga wilayah Hutam Pramanakoti. Ia teringat akan nasihat Naga Aryaka, bahwa ia tidak boleh membalas kejahatan saudara tuanya (Korawa) dengan kejahatan pula, karena hal itu  tidak menyelesaikan masalah. Naga Aryaka menambahkan agar menyerahkan semua masalah kepada Sang Hyang Tunggal penguasa alam semesta. Bima pun juga telah berjanji untuk mentaati nasihat Naga Aryaka, dewa penguasa sungai yang menolongnya dari kejahatan para Korawa, bahkan ia juga diberikan anugerah Torta Rasakundha dari Naga Aryaka.
Namun Prabu Dretarastra tahu bahwa ada sesuatu kejadian buruk yang menimpa keponakannya itu. Maka pada kesempatan lain, Dretarastra memanggil beberapa orang terdekat tanpa kehadiran Bimasena dan saudara-saudaranya. Prabu Dretarastra melampiaskan kemarahannya kepada Sengkuni.
Dretaeastra : “Sengkuni, Sengkuni, sampai kapankah engkau akan mempermainkan aku? Berapa kali engkau telah  memberikan kabar bohong kepadaku, yang adalah raja Hastinpura?”
Memang dasar  Sengkuni, ia pun masih juga mengelak.
Sengkuni : “ Ampun Sang Prabu, waktu itu memang benar ,saya melihat dengan mata kepala saya sendiri, bahwa seusai pesta, mungkin karena terlalu banyak minum tuak, Bimasena menjadi sempoyongan dan masuk  ke kedung sungai Gangga. Para Prajurit berjaga-jaga di pinggir sungai, dan siap menolong  jika sewaktu-waktu Bimasena muncul dari kedung tersebut. Namun hingga hari ketiga, anak kedua dari Pandudewanata tersebut tidak muncul juga. Jadi, salahkah jika hamba menyimpulkan bahwa Bimasena telah mati? Adakah seseorang yang mampu bertahan di dalam air selama tiga hari?”
Dretarastra :” Sengkuni! Nyatanya engkau salah! Bimasena masih hidup!!”
Bentakan sang raja Hastinapura itu membuat semua orang yang hadir di pisowanan tertunduk diam dan tidak ada satu orang pun yang berani mengeluarkan kata-kata. Drestrastra sendiri nampaknya sudah tidak ingin mengeluarkan kata-kata lagi, Ia pun meminta Gendari, istrinya untuk dituntun meninggalkan pisowanan tersebut.
Sengkuni menjadi semakin terbakar hatinya dengan nasib baik yang diterima Bimasena. Bahkan ia memiliki rencana baru untuk menyingkirkan Bimasen dan saudara-saudaranya beserta ibunya, Kunti.
Untuk kali ini Sengkuni tidak mau gagal lagi, ia memerintahkan Purucona, arsitek terhandal di Hastinapura untuk membuat sebuah bangunan peristirahatan yang indah dan nyaman di atas pegungungan di luar kota raja Hastinapura.
Bangunan itu dirancang khusus , tiang-tiang bangunan diisi dengan sendawa dan gandaruken, yaitu bahan yang sejenis dengan mesiu dan minyak yag mudah terbakar.
Sementara Kunti dan anak-anaknya memang bukan tipe orang yang pendendam., dihati mereka telah diajarkan bagaimana senantiasa menumbuhkan sikap nan tulus untuk mengasihi kepad siapapun tak terkecuali. Oleh karena itu, merekapun tidak memiliki hati yang ditumbuhi rasa dendam yang bisa meracuni hidup mereka.
Maka dengan mudah pula Sengkuni dan Doryudana membujuk kembali para Pandawa dan Kunti , mengajak mereka agar bisa merasakan nyamannya rumah peristirahatan yang bernama Bale Sigala-gala di puncak pegunungan.
Dua pekan lagi saat purnama sidhi, Kunthi dan kelima anaknya berjanji akan memenuhi undangan Sengkuni dan para Korawa dalam acara andrawina di Bale Sigala-gala. Sang Paman, Yamawidura yang mempunyai kelebihan dalam hal membaca kejadian yang belum terjadi, merasakan firasat buruk yang harus dihindari oleh kelima ponakan dan kakak iparnya itu. Ia kemudian memanggil Kanana abdinya, Kanana adalah orang yang ahli dalam mebuat terowongan. Kanana diperintahkan untuk menyelediki Pasanggrahan Bale Sigala-gala dan secepatnya membuat terowongan untuk jalan penyelamaran jika terjadi sesuatu atas pesanggrahan tersebut.
Kanana segera melaksanakan perintah rahasia Yamawidura dengan sebaik-baiknya, serapi-rapinya dan secepat-cepatnya. Ia tahu bahwa Yamawidura adalah titisan bathara Dharma, dewa keadilan dan kebenaran. Ia memiliki kelebihan dan tak ada tandingannya di negara Hastinapura dalam hal membaca kejadian yang akan terjadi. Prabu Dretarastra sendiri mengakui kelebihan adijnya yang sangat disayangi itu. Maka Kanana meyakini akan terjadi huru-hara besar dan terowongan yang ia buat atas perintah Yamawidura benar-benar akan menjadi sarana untuk penyelamatan. Kurang dari dua pekan, terowongan dengan panjang lebih dari 400 langkah selesai dibuat.
Malam menjelang pesta di Balai Sigala-gala , Yamawidura mengidungkan mantra syair yang isinya mengingatkan agar setiap orang selalu waspada dan berjaga-jaga,  tujuannya tidak lain juga untuk mengingatkan Kunthi dan anak-anaknya agar jangan menanggalkan kewaspadaan dan selalu berdoa memohon  agar terhindar dari segala mara bahaya.
Di Pagi hari yang cerah, Kunthi dan anak-anaknya berpamitan kepada Yamawidura untuk pergi ke gunung Waranawata untuk memenuhi undangan para Korawa di Bale Sigala-gala. Bagi Kunthi dan para Pandawa tidak ada sedikitpun rasa curiga di benak mereka. Namun tidak dengan Yamawidura, dia khawatir akan keselamatan Kunthi dan kelima keponakannya. Ia pun kemudian berpesan.
“Kakang Mbok Kunti dan anak-anakku Pandawa, kemeriahan pesta dapat dengan mudah membuat orang lupa. Oleh karenanya jangan tinggalkan kewaspadaan.”
“ Bimasena engkau orang yang paling perkasa diantara Ibu dan saudara-saudaramu. Padamulah aku titipkan keselamatan ibu dan saudara-saudaramu.”
Setelah berpamitan dan mendapat pesan dari Yamawidura, mereka pun berangkat meninggalkan Panggombakan menuju gunung Waranawata.
Sementara di Bale Sigala-gala, halaman dan ruangan pesta sudah dihiasi dengan bunga-bunga sehingga nampak indah mempesona. Sebagian warga Korawa telah hadir. Sang arsitek Purocana melihat karyanya dengan bangga dan namanya semakin dikenal karena karya istimewanya yang sangat menganggumkan itu.
Namun dalam hati Purucona menjadi tidak tega, jika membayangkan bahwa nanti malam Bale yang ia bangun dengan megahnya akan berubah menjadi kobaran api dan akan membakar orang-orang yang tak berdosa.
Tamu undangan telah memenuhi ruangan pesta, namun Patih Sengkuni, Doryudana, Dursasana dan para Korawa belum lega. Tamu istimewa yang mereka tunggu-tunggu belum datang, siapa lagi kalau bukan Kunti dan anak-anaknya. Karena pesta yang dibuat ini memang sengaja diadakan untuk mereka.
Sebelum memasuki lokasi pesta, Kunthi dan par Pandawa ditemui oleh Kanana, utusan Yamawidura. Ada pesan khusus yang harus ia sampaikan kepada Bimasena, tetapi sebelum Ia sempat berterus terang apa yang akan terjadi dan apa yang harus dilakukan Bimasena, ia terburu-buru pergi karena takut ketahuan Sengkuni dan warga Korawa.
Kunti, Puntadewa, Bimasena, Arjuna, Sadewa dan Nakula pun akhirnya tiba di lokasi pesta. Patih Sengkuni dan Doryudana tergopoh-gopoh menyambut kedatangan mereka. Keramahtamahan Sengkuni dan Doryudana dalam menyambut Kunti dan Pandawa memang berlebihan hingga membuat risi para tamu yang hadir. Namun tidak untuk Kunthi dan para puteranya, mereka menganggap itu adalah wujud penghormatan khusus sesame saudara.
Suasana pesta memang sungguh meriah, para petugas acara pesta menjalankan tugasnya dengan baik dan rapi. Aneka hidangan dikeluarkan tak pernah henti membuat semua yang hadir terhanyut dalam suasana yang memabukkan. Para Korawa kecuali Sengkuni, Doryudana dan Dursasana sudah tidak bisa mengendalikan diri mereka sendiri. Karena melihat suasana pesta yang semakin tidak terkendali, akhirnya pesta terpaksa dihentikan.
Keadaan menjadi hening, dan pesta yang semula dirancang unuk membawa Kunti dan para Pandawa terhanyut terlebih dulu dalam suasana pesta, tetapi yang terjadi justru sebaliknya. Para Korawa justru lebih dulu tidak berdaya karena terlalu hanyut dalam kemeriahan pesta.
Sengkuni menjadi bingung, bagaimana bisa melaksanakan rencananya, jika para Korawa justru mabuk dan sulit membawa mereka keluar dari Bale Sigala-gala.
Sementara itu Kunti dan Nakula menuju ke ruang belakang, mereka melihat enam pertapa tertidur nyenyak sekali di lantai, nampaknya mereka sangat kelelahan. Dewi Kunti menyapa mereka dengan lembut “ Selamat malam sang pertapa, selamat beristirahat dan sampai jumpa di esok hari.”
Malam  merambat menuju pagi, dari kejauhan terdengar suara kentongan yang berbunyi dua kali, dan itu menandakan bahwa waktu menunjukkan pukul dua dini hari. Sampai di ruang belakang Kunti melihat Yudhistira, Bimasena, Arjuna dan Sadewa masih terjaga. Dan yang mengejutkan, di antara mereka ada seorang abdi dari Panggombakan, orang terdekat Yamawidura yaitu Kanana, sang ahli pembuat terowongan.
Kanana kemudian memohon agar diberi kesempatan untuk menjelaskan suatu hal rahasia dengan tanpa didengar  orang lain, selain Dewi Kunthi dan anak-anaknya. Pintu ruangan ditutup perlahan, mereka memusatkan perhatian dan pandangan kepada Kanana.
Kanana kemudian memulai mengungkapkan apa hala rahasia itu, “ Mohon Maaf sebelumnya, Ibu Kunthi dan pra Putra, beberapa pekan lalu, saya diperintahkan untuk membuat terowongan rahasia sebagai jalan penyelamatan jika sewaktu-waktu terjadi bencana di pesta Bale Sigala-gala. Terutama kepada Raden Bimasena, Bapa Yamawidura mengingatkan agar selalu waspada dan bertindak cepat untuk menyelamatkan Ibu Kunthi  beserta saudara-saudaranya, jika sewaktu-waktu bencana benar-benar terjadi, dan inilah pintu terowongannya itu.”
Kunthi dan para Pandawa ternganga mendengar penjelasan Kanana, mereka tidak menyangka bahwa lantai yang beralas permadani itu ternyata mudah dibuka. Kanana membuka pintu terowongan yang ia buat,  ada tangga yang menuju ke pintu terowongan melalui lobang itu. Kemudian ia berkata, “Terowongan inilah yang akan membawa kita sampai di bawah bukit dengan selamat”.
Baru saja Kanana akan menutup pintu terowongan kembali, mereka dikejutkan oleh cahaya merah yang tiba-tiba saja menjadi besar. Bale Sigala-gala dibakar.
Saat itu Kunti teringat dengan ke enam pertapa yang tidur nyenyak tidak jauh darinya. Tetapi ketika ia akanmembuka pintu, ternyata pintu sudah dikunci dari luar. Kunti sempat berteriak, “ Selamat malam Sang Pertapa”. Kunthi masih berusaha membuka pintu tetapi ia langsung disaut oleh Bimasena, dan bersama para Pandhwa, dibawa masuk ke pintu terowongan. Kanana bergerak cepat menutup pintu, setelah ia memastikan bahwa Kunti dan para Pandawa telah masuk terowongan.
Bale Sigala-gala yang dibangun indah dan megah habis dilalap api. Purucona sang arsitek, juga menjadi korban. Ia dipaksa untuk menyulut Bale Sigala-gala yang memang dirancang dengan bahan yang mudah terbakar. Namun setelah api membesar, ia dilepar ke dalam api oleh para pengawal yang memang sudah dipersiapkan. Konsep Bale Sigala-gala yang ia bangun, sebenarnya agar para tamu yang hadir merasa nyaman dan tertarik untuk masuk ke pesanggrahan itu, tidak pernah terpikir olehnya, bahwa bangunan itu dibuat demi  sarana untuk melenyapkan para Pandawa.
Selain Purucona, ada enam orang yang menjadi korban, mereka ditemukan di depan pintu runag belakang. Siapa lagi, kalau bukan Kunthi dan kelima anaknya. (Keenam mayat itu adalah mayat keenam pertapa yang tertidur nyenyak saat peristiwa kebakaran itu terjadi).
Malam sudah berganti pagi dan kini sang mentari sudah mulai meninggi. Bukit  pesanggrahan Bale Sigala-gala, sudah penuh sesak orang-orang yang ingin memastikan apakah Raden Yudhistira dan keempat saudara beserta Ibunya dapat menyelamatkan diri.
 “Inilah mayat Kunthi, walaupun sudah menjadi arang, masih kelihatan bahwa ini adalah mayat seorang wanita. Dan yang lima ini adalah anak-anaknya, yaitu: Yudhisthira, Bimasena, Herjuna, Nakula dan Sadewa.” Denga penuh keyakinan, Sangkuni meyakinkan bahwa keenam mayat tersebut adalah Kunthi dan Pandhawa lima. 
Para rakyat bersedih, para kawula menangis, meliat keenam mayat yang diyakinkan Sengkuni adalah mayat Kunthi dan anak-anaknya. Par kawula pedesan datang, bersimpuh  mengelilingi keenam mayat tersebut. Rasa hormat dan rasa cinta yang begitu tinggi yang ditunjukkan rakyat Hastinapura kepada Pandawa meskipun sudah menjadi abu, membuat Sengkuni dan Para Korawa panas hatinya. Maka, segeralah Patih Sengkuni membubarkan para  kawula padesan itu.
Posted on 17.32 / 0 komentar / Read More

Dewi Amba


Amba adalah salah satu tokoh yang muncul dalam wiracarita Mahabharata. Ia adalah putera raja Kerajaan Kasi. Amba mempunyai dua adik perempuan yaitu Ambika danAmbalika, dan ketiga-tiganya diboyong ke Hastinapura oleh Bisma untuk dinikahkan kepada adiknya, Wicitrawirya, raja Hastinapura.

Sudah menjadi tradisi, bahwa kerajaan Kasi akan memberikan putrinya kepada pangeran keturunan Kuru. Namun, saat Wicitrawirya mewarisi takhta Hastinapura, tradisi itu tidak dilaksanakan. Kerajaan Kasi mengadakan sayembara untuk menemukan jodoh para puterinya. Bisma kemudian datang mengikuti sayembara itu, dan ia berhasil mengalahkan semua peserta yang ada, termasuk Raja Salwa, yang sebenarnya sudah dipilih Amba untuk menjadi suaminya. Namun hal itu tidak diketahui Bisma, dan Amba pun tidak berani untuk mengatakannya.

Bersama dengan Ambika dan Ambalika, Amba diboyong ke Hastinapura untuk dinikahkan kepada Wicitrawirya. Ambika dan Ambalika akhirnya menikah dengan Wicitrawirya, namun tidak dengan Amba. Hatinya sudah tertambat kepada Salwa, dan ia pun mejelaskan bahwa sebenarnya ia sudah memilih Salwa untuk menjadi suaminya. Wicitrawirya merasa bahwa tidak baik menikah dengan wanita yang sudah terlanjur mencintai orang lain, dan ia akhirnya mengizinkan Amba untuk pergi menghadap Salwa.

Amba kemudian pergi menghadap Salwa, namun apa yang ia dapatkan ternyata tidak sama dengan yang menjadi harapannya. Salwa menolaknya, karena ia enggan menikahi wanita yang telah direbut darinya. Salwa merasa, Bisma lah yang pantas menikah dengan Amba, karena Bisma yang telah mengalahkan dirinya.

Dengan rasa malu dan kecewa, Amba kembali ke Hastinapura untuk menikah dengan Bisma. Namun Bisma juga menolaknya, karena Bisma telah berjanji bahwa ia tidak akan menikah seumur hidup. Hidup Amba akhirnya terkatung-katung di hutan, dalam hatinya timbul kebencian terhadap Bisma, orang yang telah memisahkannya dari Salwa dan membuat hidupnya menjadi tidak jelas.

Di dalam hutan, ia bertemu dengan Resi Hotrawahana, kakeknya. Amba menceritakan apa yang terjadi pada dirinya. Setelah mendengar masalah sang cucu, resi Hotrawahana meminta bantuan Rama Bargawa atau Parasurama, guru Bisma untuk membujuk Bisma agar menikah dengan Amba.

Namun, bujukan Parasurama juga terus ditolak oleh Bisma, hingga sang guru marah dan menantang untuk bertarung. Pertarungan antara guru dan murid itu berlangsung sengit, dan baru diakhiri setelah para dewa menengahi permasalah tersebut.

Amba pergi berkelana dan bertapa memuja para dewa, memohon agar bisa melihat Bisma mati. Sangmuka, putera dewaSangkara, muncul dan memberi kalung bunga kepada Amba. Ia berkata, bahwa orang yang memakai kalung bunga tersebebut yang akan menjadi pembunuh Bisma.

Setelah mendapat kalung bunga dari Sangmuka, Amba berkelana mencari ksatria yang bersedia memakai kalung bunganya. Tidak ada seorang pun yang mau memakai kalung bunga tersebut meskipun itu pemberian dewa, jika mengetahui lawannya adalah Bisma. Begitu juga dengan Drupada, raja kerajaan Panchala, ia juga takut jika harus melawan Bisma. Amba mencapai puncak kemarahannya dan melemparkan kalung bunga itu ke tiang balai pertemuan Raja Drupada.

Dengan penuh rasa kebencian terhadap Bisma, Amba melakukan tapa, dalam pikirannya, ia hanya ingin melihat Bisma mati. Melihat ketekunan Amba, Dewa Sangkara muncul dan berkata bahwa Amba akan bereinkarnasi sebagai pembunuh Bisma. Setelah mendengar pemberitahuan sang dewa, Amba membuat api unggun, lalu membakar dirinya sendiri.

Namun, dalam versi lain disebutkan bahwa kematian Amba adalah karena ketidaksengajaan Bisma. Dikisahkan, untuk menjauhi Amba, Bisma lebih memilih untuk mengembara. Namun, Amba selalu mengikuti kemanapun Bisma pergi, akhirnya Bisma menodongkan panah kearah Amba untuk menakut-nakutinya, agar Amba pergi.

Amba tidak takut dengan ancaman Bisma, ia berkata bahwa kesenangan atau matinya semua karena Bisma, ia malu bila harus kembali ke kerajaan Kasi maupun Hastinapura. Bisma terdiam mendengar perkataan Amba. Karena terlalu lama ia merentangkan panahnya, membuat tangannya berkeringat, dan tanpa sengaja, anak panak terlepas dari busurnya dan menembus dada Amba.

Karena memang tidak disengaja, Bisma segera membalut luka Amba sambil menangis tersedu-sedu. Namun, sebelum Amba menghembuskan napas terakhirnya, ia berpesan kepada Bisma, bahwa ia akan menjelma sebagai anak raja Drupada yang akan ikut serta dalam pertempuran akbar antara Pandawa dan Korawa.

Dalam kehidupan selanjutnya, lahirlah Srikandi anak raja Drupada dari kerajaan Panchala yang merupakan reinkarnasi dari Amba. Srikandi adalah istri Arjuna, penengah Pandawa. Meskipun ia seorang wanita tetapi ia terampil dalam ilmu keprajuritan terutama ilmu memanah. Srikandi lah yang bersedia memakai kalung bunga Dewa Sangkara, dan itu berarti ia lah yang akan menjadi penyebab gugurnya Bisma.

Kutukan Amba akhirnya memang menjadi kenyataan, saat perang akbar di Kurukhsetra, Srikandi turut  terjun ke medan laga. Ia berhadapan dengan Resi Bisma, saat itu Resi Bisma tahu bahwa Srikandi adalah reinkarnasi Amba, karena ia tidak mau menyerang bila berhadapan dengan seorang wanita, Bisma menjatuhkan senjatanya. Arjuna tahu bahwa hak itu akan dilakukan Resi Bisma, ia bersembunyi di belakang Srikandi dan memanfaatkan kesempatan itu untuk menyerang Resi Bisma, kakek yang sebenarnya sangat dihormati dan disayanginya. Dengan bantuan Srikandi inilah Arjuna dapat membunuh Resi Bisma. Namun dalam pewayangan Jawa, yang membunuh Resi Bisma adalah Srikandi dengan panah Hrusangkali.

Dalam pewayangan Jawa, kisah hidup Amba tidak jauh berbeda.Dewi Amba adalah puteri sulung dari Prabu Darmahumbara, raja negara Giyantipura dengan Dewi Swargandini. Ia memiliki dua adik perempuan bernama Dewi Ambika dan Dewi Ambiki.

Amba dan kedua adiknya diboyong oleh Bisma, putera Prabu Santanu dengan Dewi Jahnawi (Dewi Gangga). Bisma memenangkan sayembara untuk mendapatkan ketiga puteri tersebut dengan membunuh Wahmuka dan Arimuka.

Amba yang merasa sudah dipertunangkan dengan Prabu Citramuka, raja negara Swantipura, Amba memohon kepadaDewabrata agar dikembalikan kepada Prabu Citramuka. Namun ternyata Prabu Citramuka menolak Amba semenjak ia menjadi puteri boyongan Bisma. Ia pun ditolak oleh Bisma, ketika Amba ingin mengikuti Bisma kembali ke Hastinapura. Namun, Amba terus memaksa hingga Bisma merentangkan panahnya untuk menakut-nakuti Amba, namun tnapa sengaja, anak panah itu lepas dari busurnya dan mengenai Amba hingga tewas.

Sebelum meninggal, Amba mengutuk, bahwa ia akan menuntut balas kematiannya dengan seorang prajurit wanita. Prajurit wanita itu adalah Srikandi, yang menjadi penyebab kematian Bisma dalam perang Bharatayuddha.
Posted on 17.32 / 0 komentar / Read More

Sri Rama

Rama, Sri Rama atau Ramacandra adalah salah satu tokoh utama dalam wiracaritaRamayana. Ia adalah putera dari Prabu Dasarata (raja Ayodhya) dengan Kosalya.Rama dipandang sebagai Maryada Purushottama, yang berarti manusia sempurna. Ia juga diyakini sebagai awatara Dewa Wisnu yang ketujuh yang turun pada zaman Tretayuga. Rama bristrikan Dewi Sita atau Dewi Sinta, inkarnasi dari Dewi Laksmi. Dari pernikahan itu, mereka dikaruniai dua anak kembar yaitu Kusa dan Lawa.
Dalam wiracarita Ramayana, diceritakan bahwa sebelum Rama lahir, Triloka diteror oleh seorang raja raksasa yang bernama Rahwana. Para Dewa tidak bisa menandingi kekuatan Rahwana sehingga membuat mereka cemas. Akhirnya Dewa Bumi menghadap kepadaBrahma agar beliau bersedia menyelamatkan alam dan seisinya. Para Dewa akhirnya memutuskan agar Dewa Wisnu bersedia menjelma menjadi seorang manusia untuk menegakkan dharma dan menyelamatkan dunia. Dewa Wisnu bersedia mendapat tugas itu dan berjanji akan turun ke dunia sebagai Rama, putera Prabu Dasarata dari Ayodhya. Dalam penjelmaannya, Dewa Wisnu ditemani oleh Naga Sesa yang kemudian menjadi Laksmana dan Laksmi yang menjadi Sita (Sinta).
Raja Dasarata saat itu merindukan kehadiran putera, kemudian ia mengadakan upacara Putrakama Yadnya (memohon putera) kepada Dewa. Para Dewa mengabulkan permintaan Dasarata dan memberikan air suci agar diminum ketiga istrinya. Dari anugerah tersebut  lahirlah Rama dari Kosalya; Bharata dari Kekayi, dan Laksmana serta Satrugna dari Sumitra. Keempat pangeran Ayodhya itu tumbuh menjadi putera yang gagah-gagah dan terampil dalam memainkan senjata di bawah bimbingan Resi Wasista.
Suatu hari, Raja Dasarata kedatangan Resi Wiswamitra yang meminta bantuan Rama untuk mengusir para raksasa yang mengganggu yadnya  para resi di hutan. Sebenarnya Dasarata keberatan mengabulkan permohonan Wiswamitra, karena Rama masih terlalu muda untuk menghadapi para raksasa itu. Namun ia juga takut akan kutukan Resi Wiswamitra. Akhirnya Prabu Dasarata pun mengabulkan permohonan Wiswamitra dan mengizinkan puteranya untuk membantu para resi.
Dalam  perjalanan mereka ke Sidhasrama yaitu kediaman para resi, Rama dan Laksmana mendapat mantra sakti dari Resi Wiswamitra yaitu Bala dan atibala. Saat melewati hutan Dandaka, Rama berhasil membunuh rekshasi Tataka. 
Tibalah mereka di Sidhasrama, datanglah raksasa Marica dan Subahu mengotori sesajen dengan darah dan daging mentah. Melihat hal itu, Rama dan Laksmana segera bertindak, namun atas permintaan Rama, Marica akhirnya diampuni oleh Laksmana. Sedangkan Subahu tidak diberi ampun oleh Rama, dengan senjata Agneyastra atau panah Api, Rama membakar tubuh Subahu sampai menjadi Abu. Dengan bantuan Rama dan Laksmana, akhirnya pelaksaan yadnya para resi berlangsung dengan lancar dan aman.
Di Mithila diadakan Sayembara untuk memperebutkan Dewi Sita, Wiswamitra kemudian mengajak Rama dan Laksmana untuk mengikuti sayembara tersebut. Mereka berdua pun setuju dan pergi menuju Mithila. Sementara di Mithila belum ada satu orang pun yang mampu memenuhi persyaratan untuk menikahi Sinta, yaitu mengangkat dan membengkokan busur panah Siwa.
Rama kemudian tampil ke muka, ia tidak hanya berhasil mengangkat dan membengkokan busur panah Siwa, tetapi juga mematahkannya menjadi tiga bagaian. Melihat kemampuan Rama tersebut, Prabu Janaka, ayah Sita memutuskan untuk mengambil mantu Rama.Utusan dikirim ke Ayodhya untuk memberi kabar tersebut. Pabu Dasarata bahagia, karena puteranya sudah mendapatkan istri di Mithala, dan ia pun segera berangkat ke Mithila untuk menghadiri upacara pernikahan Rama, puteranya.
Rama kemudian memboyong Sinta ke Ayodhya, dalam perjalanannya, ia bertemu dengan Resi Parasurama yaitu brahmana sakti yang ditakuti para ksatria. Ia memegang sebuah busur di bahunya yang konon adalah busur Wisnu. Parasurama mendengar kabar bahwa Rama telah mematahkan busur Siwa, dan ia menantang Rama untuk membengkokan busurnya. Rama menerima tantangan tersebut, dan dengan mudah busur Wisnu itu dibengkokannya.Rama kemudian berkata, “ Panah Waisnawa ini harus mendapat mangsa. Apakah panah ini harus menghancurkan kekuatan Tuan atau hasil tapa Tuan?”. Parasurama menjawab agar panah itu menghancurkan hasil tapanya, karena ia hendak merintis hasil tapanya dari awal. Kemudian ia pamit untuk pergi ke Gunung Mahendra.
Dasarata sudah tua, ia ingin turun takhta dan mengangkat putera sulungnya Rama, untuk menggantikannya. Persiapan untuk upacara penobatan Rama sudah disiapkan, namun Kekayi kemudian meminta Agar Dasarata menobatkan Bharata menjadi Raja dan Rama dibuang selama 14 tahun. Mendengar permintaan Kekayi, Dasarata sedih tetapi ia juga tidak bisa menolak  karena ia terikat janji dengan Kekayi. Dan dengan berat hati Dasarata menobatkan Bharata sebagai raja dan meminta Rama untuk meninggalkan Ayodhya.
Rama menerima keputusan ayahnya, dengan disertai istri tercintanya Sinta dan Laksmana mereka pergi mengembara di hutan. Karena kesedihan yang berlarut-larut, akhirnya Dasarata wafat.
Bharata yang baru kembali ke Ayodhya, menjumpai ayahandanya sudah tiada, dan Rama pun sudah meninggalkan Ayodhya. Kekayi, ibundanya kemudian menjelaskan bahwa ialah yang kini menjadi raja, namun Bharata tidak menginginkan hal itu, ia kemudian menyusul Rama dan memberikan kabar duka serta meinta Rama untukkembali ke Ayodhya untuk menjadi Raja. Namun Rama menolak, dan ia memberikan ajaran-ajaran agama kepada Bharata. Akhirnya Bharata bersedia menjadi raja di Ayodhya dengan membawa sandal milik Rama dan meletakkannya di singgasana, itu sebagai lambang bahwa ia memerintah Ayodhya atas nama Rama.
Saat menjalani pengasingan di hutan, Rama dan Laksmana di datangi oleh rekshasi bernama Surpanaka yang mengubah wujudnya menjadi seorang wanita cantik. Ia menggoda Rama dan Laksmana, namun mereka menolaknya.Surpanaka yang sakit hatidan iri melihat kecantikan Sita,hendak  membunuhnya. Dengan sigap Rama melindungi Sinta dan Laksmana mengarahkan pedangnya kepada Surpanaka yang menyebabkan hidung Surpanaka terluka. 
Dengan rasa malu, Surpanaka kemudian mengadu kepada kakaknya yang bernama Kara. Kara marah dan membalas dendam kepada Rama. Dengan angkatan perang yang besar, ia menggempur Rama, namun mereka semua tewas. Akhirnya Surpanaka mengadu kepada Rahwana di kerajaan Alengka. Rahwana marah dan ia mengajak patihnya yang bernama Marica untuk membalas dendam kepada Rama.
Marica menyamar sebagai seekor kijang yang akan mengalihkan perhatian Rama. Kijang itu melompat-lompat di halaman pondokan Rama, Sinta dan Laksmana. Melihat ada kijang yang lucu, Sinta meminta suaminya untuk memburu kijang Tersebut. Rama dan Laksmana sebenarnya tahu bahwa kijang itu bukanlah kijang biasa, namun karena desakan Sita, akhirnya Rama memburu kijang tersebut.Sementara Laksmana ditugaskan untuk menjaga Sita di pondokan.
Rama mengejar kijang itu sampai ke tengah hutan,ia kemudian memanahnya, seketika kijang itu berubah wujud menjadi Marica. Saat Marica sekarat, ia mengerang keras dengan menirukan suara Rama. Mendengar suara itu,Dewi Sita merasa ada sesuatu yang buruk menimpa suaminya, maka ia pun meminta Laksmana untuk menyusul Rama. Awalnya Laksmana menolak, namun karena desakan Sinta akhirnya ia menjalankan perintah kakak iparnya itu. Tapi sebelumnya, ia membuat lingkaran pelindung agar tidak ada orang jahat yang mampu menculik Sita.
Sementara Rahwana menyamar menjadi brahmana tua, datang mendekati Sinta. Ia mengiba dan berhasil membuat Sita keluar dari lingkaran yang dibuat oleh Laksmana dan dengan cepat ia menculik Sinta dibawa ke Alengka.
Mengetahui istrinya sudah tidak ada, perasaan Rama menjadi terguncang. Kemudian Rama dan Laksmana menyusuri pelosok gunung, hutan dan sungai untuk mencari keberadaan Sinta. Dalam perjalanan, mereka menemukan ceceran darah dan pecahan-pecahan kereta, seolah-olah telah terjadi suatu pertempuran.Rama berpikir itu adalah pertempuran raksasa yang memperebutkan Sita.
Namun, tidak lama kemudian ia bertemu dengan seekor burung yang sedang sekarat, burung itu adalah Jatayu, sahabat Raja Dasarata. Jatayu kemudian memberitahu Rama dan laksmana bahwa Sinta diculik Rahwana. (Jatayu terluka karena berusaha untuk menyelamatkan Sinta dari Rahwana)
Setelah selesai mengadakan upacara pembakaran jenazah Jatayu, Rama dan Laksmana melanjutkan perjalanannya. Dalam perjalanan, mereka bertemu denga raksasa aneh yang memiliki tangan panjang. Akhirnya, Rama dan Laksmana memotong lengan raksasa tersebut. Namun raksasa tersebut kemudian berubah wujud mejadi seorang dewa bernama Kabanda. Dengan petunjuk Kabanda, mereka pergi ke tepi sungai Pampa untuk mencari Sugriwa di bukit Resyakuma
Sugriwa yang mendengar ada dua kesatria yang menuju wilayahnya, kemudian mengutus Hanoman untuk mencari tahu siapa sebenarnya dan apa tujuan mereka berdua. Hanoman kemudian pergi dengan menyamar sebagai brahmana dan bertemu dengan Rama dan Laksmana. Mereka terlibat percakapan yang cukup lama, Rama menceritakan peristiwa yang menimpanya dan maksud tujuannya mencari Sugriwa. Setelah mendengar pengakuan dari Rama, Hanoman kemudian merubah ke wujud aslinya dan mengantar mereka bertemu dengan Sugriwa.
Akhirnya Rama dan Sugriwa membuat perjanjian bahwa mereka akan saling membantu. Saat itu Sugriwa sedang berusaha untuk merebut kembali kerajaan Kiskenda dari kakaknya, Subali. Akhirnya dengan bantuan Rama, Subali berhasil dikalahkan dan Kiskenda kembali ke tangan Sugriwa.
Sesuai janji, kini saatnya Sugriwa membantu Rama untuk menyelamatkan Sita yang diculik Rahwana. Sugriwa mengutus Hanoman untuk ke Alengka mencari keberadaan Sinta. Hanoman berhasil menemukan Sita di Alengka, dan menyampaikan kabar bahwa Rama dalam keadaan baik-baik saja dan akan menyelamatkannya. Sebenarnya, Anoman mengajak Sinta untuk meninggalkan Alengka dan bertemu dengan Rama kembali. Namun, sinta menolak , dia ingin Rama sendiri yang menjemputnya. Hanoman tidak bisa memaksa, dan ia kembali memberikan kabar kepada Rama.
Setelah menyusun strategi, bala tentara wanara berangkat menuju Alengka. Dan atas saran Wibisana, adik Rahwana yang memilih untuk berada di pihak Rama, pasukan wanara membuat jembatan menuju ke Alengka.
Rama dan pasukannya kemudian menyeberang ke Alengka. Pada pertempuran pertama, Anggada menghancurkan menara Alengka. Rahwana kemudian mengirimkan mata-mata untuk meninjau kekuatan musuh. Mata-mata itu menyamar menjadi wanara, sehingga tidak ada yang tahu kecuali Wibisana.
Wibisana kemudian menangkap mata-mata tersebut dan dihadapkannya kepada Rama. Utusan Rahwana itu memohon apun dan berkata bahwa ia hanya menjalankan perintah. Rama mengizinkan mata-mata tersebut untuk melihat kekuatan tentara Rama dan berpesan agar Rahwana segera mengembalikan Sita.
Pada hari terakhir, dengan menggunakan kereta perang Dewa Indra yang dikusiri Matali, Rama maju ke medan laga. Rama berhadapan dengan Rahwana, dan dengan senjata Brahma Astra, Rama berhasil membunuh Rahwana.
Setelah berhasil menyelamatkan Dewi Sinta, Rama kemudian memberikan Alengka kepada Wibisana dan memberikan wejangan kepada Wibisana agar membangun kembali negara Alengka.
Posted on 10.54 / 0 komentar / Read More

Baladewa


Baladewa adalah salah satu tokoh yang muncul dalam wiracarita Mahabharata. Ia menjadi tokoh netral dalam wiracarita Mahabharata.Baladewa adalah putera Basudewadan Dewaki. Ia adalah kakak dari Kresna dan Dewi Subadra (istri Arjuna). Ia memiliki watak keras hati, mudah naik darah tapi pemaaf dan arif bijaksana. Baladewa memiliki dua pusaka sakti, yaitu Nangggala dan Alugara, pemberian Brahma. Ia juga mempunyai kendaraan gajah bernama Kyai Puspadenta. 

Baladewa sebenarnya adalah kakak kandung Kresna, putera Basudewa dan Dewaki. Namun ia dilahirkan oleh Rohini atas peristiwa pemindahan janin. Dikisahkan, Kamsa, kakak Dewaki takut akan ramalan yang mengatakan bahwa ia akan mati di tangan putera kedelapan Dewaki. Oleh karena itu, ia menjebloskan Dewaki dan suaminya ke penjara dan membunuh setiap putera yang dilahirkan Dewaki.

Saat Dewaki mengandung puteranya yang ketujuh, takdir berkata lain, bahwa anak yang kelak dilahirkannya ini tidak akan mati di tangan Kamsa. Maka secara ajaib janin itu pindah ke rahim Rohini yang sedang menginginkan seorang putera. Maka dari itu, Baladewa juga memiliki nama lain yaitu Sankarsana yang berarti “pemindahan janin”.

Pada masa kecilnya, baladewa bernama Rama, dan karena kekuatannya yang luar biasa, ia disebut Balarama atau Baladewa (bala=kuat). Baladewa menghabiskan masa kanak-kanaknya sebagai seorang pengembala sapi bersama Kresna. Ia menikah denganReawati, puteri Raiwata dari Anarta.


Baladewa dalam Mahabharata terkenal sebagai pengajar Doryudana dan Bima dalam menggunakan senjata gada. Saat perang diKurukhsetra, Baladewa tidak turut serta, ia lebih memilih menjadi pihak yang netral. Namun, ketika Bima hendak membunuh Doryudana, ia mengancam akan membunuh Bima,namun hal itu dapat dicegah oleh adiknya, Kresna. Kresna menyadarkan bahwa Bima membunuh Doryudana untuk memenuhi sumpahnya. Kresna juga mengingatkan Baladewa akan segala keburukan Doryudana.

Dalam pewayangan Jawa, Baladewa adalah saudara Prabu Kresna. Waktu mudanya Prabu Baladewa bernama Kakasrana. Ia adalah putera Prabu Basudewa, raja negara Mandura dengan Dewi Mahendra atau Maekah. Ia memiliki saudara lain ibu bernama Dewi Subadra yang menjadi istri Arjuna, puteri Prabu Basudewa dengan Dewi Badrahini. Baladewa juga memiliki saudara lain ibu bernama Arya Udawa, putera Prabu Basudewa dengan Ken Sagupi.

Saat mudanya, Baladewa pernah menjadi pendeta di pertapaan Argasonya dan bergelar Wasi Jaladra. Ia menikah dengan Dewi Erawati, puteri Prabu Salya dengan Dewi Setyawati. Dari perkawinan itu, ia dikaruniai dua orang putera bernama Wisata danWimuka.

Saat perang Bharatayuddha, Prabu Baladewa sebenarnya memihak Korawa, namun dengan siasat Kresna, Baladewa tidak ikut dalam peperangan, ia justru bertapa di Grojogan Sewu. Kresna meminta Prabu Baladewa untuk bertapa di Grojogan Sewu, dan ia berjanji akan membangunkannya jika Bharatayuddha terjadi. Sebenarnya tujuan Kresna adalah agar Baladewa tidak mendengar saat perang Bharatayuddha terjadi, karena bila Baladewa ikut dalam peperangan, Pandawa pasti kalah karena Baladewa sangat sakti. 

Ada yang mengatakan Baladewa adalah titisan naga, namun ada pula yang meyakini bahwa ia adalah titisan Sanghyang Basuki,  Dewa keselamatan. Baladewa berumur panjang, ia menjadi pamong dan penasihat Prabu Parikesit, raja Hastinapura yang menggantikan Prabu Puntadewa. Baladewa mati moksa setelah punahnya seluruh Wangsa Wresni.
Posted on 10.50 / 3 komentar / Read More
 
Copyright © 2011. wayang kulit . All Rights Reserved
Home | Company Info | Contact Us | Privacy policy | Term of use | Widget | Site map
Design by Dalang . Published by Dalang