Bimasena menghadap sanga Raja Hastinapura, Prabu Dretarastra. Namun, ia tidak menceritakan apa yang menimpa dirinya di kedung Sungai Gangga wilayah Hutam Pramanakoti. Ia teringat akan nasihat Naga Aryaka, bahwa ia tidak boleh membalas kejahatan saudara tuanya (Korawa) dengan kejahatan pula, karena hal itu tidak menyelesaikan masalah. Naga Aryaka menambahkan agar menyerahkan semua masalah kepada Sang Hyang Tunggal penguasa alam semesta. Bima pun juga telah berjanji untuk mentaati nasihat Naga Aryaka, dewa penguasa sungai yang menolongnya dari kejahatan para Korawa, bahkan ia juga diberikan anugerah Torta Rasakundha dari Naga Aryaka.
Namun Prabu Dretarastra tahu bahwa ada sesuatu kejadian buruk yang menimpa keponakannya itu. Maka pada kesempatan lain, Dretarastra memanggil beberapa orang terdekat tanpa kehadiran Bimasena dan saudara-saudaranya. Prabu Dretarastra melampiaskan kemarahannya kepada Sengkuni.
Dretaeastra : “Sengkuni, Sengkuni, sampai kapankah engkau akan mempermainkan aku? Berapa kali engkau telah memberikan kabar bohong kepadaku, yang adalah raja Hastinpura?”
Memang dasar Sengkuni, ia pun masih juga mengelak.
Sengkuni : “ Ampun Sang Prabu, waktu itu memang benar ,saya melihat dengan mata kepala saya sendiri, bahwa seusai pesta, mungkin karena terlalu banyak minum tuak, Bimasena menjadi sempoyongan dan masuk ke kedung sungai Gangga. Para Prajurit berjaga-jaga di pinggir sungai, dan siap menolong jika sewaktu-waktu Bimasena muncul dari kedung tersebut. Namun hingga hari ketiga, anak kedua dari Pandudewanata tersebut tidak muncul juga. Jadi, salahkah jika hamba menyimpulkan bahwa Bimasena telah mati? Adakah seseorang yang mampu bertahan di dalam air selama tiga hari?”
Dretarastra :” Sengkuni! Nyatanya engkau salah! Bimasena masih hidup!!”
Bentakan sang raja Hastinapura itu membuat semua orang yang hadir di pisowanan tertunduk diam dan tidak ada satu orang pun yang berani mengeluarkan kata-kata. Drestrastra sendiri nampaknya sudah tidak ingin mengeluarkan kata-kata lagi, Ia pun meminta Gendari, istrinya untuk dituntun meninggalkan pisowanan tersebut.
Sengkuni menjadi semakin terbakar hatinya dengan nasib baik yang diterima Bimasena. Bahkan ia memiliki rencana baru untuk menyingkirkan Bimasen dan saudara-saudaranya beserta ibunya, Kunti.
Untuk kali ini Sengkuni tidak mau gagal lagi, ia memerintahkan Purucona, arsitek terhandal di Hastinapura untuk membuat sebuah bangunan peristirahatan yang indah dan nyaman di atas pegungungan di luar kota raja Hastinapura.
Bangunan itu dirancang khusus , tiang-tiang bangunan diisi dengan sendawa dan gandaruken, yaitu bahan yang sejenis dengan mesiu dan minyak yag mudah terbakar.
Sementara Kunti dan anak-anaknya memang bukan tipe orang yang pendendam., dihati mereka telah diajarkan bagaimana senantiasa menumbuhkan sikap nan tulus untuk mengasihi kepad siapapun tak terkecuali. Oleh karena itu, merekapun tidak memiliki hati yang ditumbuhi rasa dendam yang bisa meracuni hidup mereka.
Maka dengan mudah pula Sengkuni dan Doryudana membujuk kembali para Pandawa dan Kunti , mengajak mereka agar bisa merasakan nyamannya rumah peristirahatan yang bernama Bale Sigala-gala di puncak pegunungan.
Dua pekan lagi saat purnama sidhi, Kunthi dan kelima anaknya berjanji akan memenuhi undangan Sengkuni dan para Korawa dalam acara andrawina di Bale Sigala-gala. Sang Paman, Yamawidura yang mempunyai kelebihan dalam hal membaca kejadian yang belum terjadi, merasakan firasat buruk yang harus dihindari oleh kelima ponakan dan kakak iparnya itu. Ia kemudian memanggil Kanana abdinya, Kanana adalah orang yang ahli dalam mebuat terowongan. Kanana diperintahkan untuk menyelediki Pasanggrahan Bale Sigala-gala dan secepatnya membuat terowongan untuk jalan penyelamaran jika terjadi sesuatu atas pesanggrahan tersebut.
Kanana segera melaksanakan perintah rahasia Yamawidura dengan sebaik-baiknya, serapi-rapinya dan secepat-cepatnya. Ia tahu bahwa Yamawidura adalah titisan bathara Dharma, dewa keadilan dan kebenaran. Ia memiliki kelebihan dan tak ada tandingannya di negara Hastinapura dalam hal membaca kejadian yang akan terjadi. Prabu Dretarastra sendiri mengakui kelebihan adijnya yang sangat disayangi itu. Maka Kanana meyakini akan terjadi huru-hara besar dan terowongan yang ia buat atas perintah Yamawidura benar-benar akan menjadi sarana untuk penyelamatan. Kurang dari dua pekan, terowongan dengan panjang lebih dari 400 langkah selesai dibuat.
Malam menjelang pesta di Balai Sigala-gala , Yamawidura mengidungkan mantra syair yang isinya mengingatkan agar setiap orang selalu waspada dan berjaga-jaga, tujuannya tidak lain juga untuk mengingatkan Kunthi dan anak-anaknya agar jangan menanggalkan kewaspadaan dan selalu berdoa memohon agar terhindar dari segala mara bahaya.
Di Pagi hari yang cerah, Kunthi dan anak-anaknya berpamitan kepada Yamawidura untuk pergi ke gunung Waranawata untuk memenuhi undangan para Korawa di Bale Sigala-gala. Bagi Kunthi dan para Pandawa tidak ada sedikitpun rasa curiga di benak mereka. Namun tidak dengan Yamawidura, dia khawatir akan keselamatan Kunthi dan kelima keponakannya. Ia pun kemudian berpesan.
“Kakang Mbok Kunti dan anak-anakku Pandawa, kemeriahan pesta dapat dengan mudah membuat orang lupa. Oleh karenanya jangan tinggalkan kewaspadaan.”
“ Bimasena engkau orang yang paling perkasa diantara Ibu dan saudara-saudaramu. Padamulah aku titipkan keselamatan ibu dan saudara-saudaramu.”
Setelah berpamitan dan mendapat pesan dari Yamawidura, mereka pun berangkat meninggalkan Panggombakan menuju gunung Waranawata.
Sementara di Bale Sigala-gala, halaman dan ruangan pesta sudah dihiasi dengan bunga-bunga sehingga nampak indah mempesona. Sebagian warga Korawa telah hadir. Sang arsitek Purocana melihat karyanya dengan bangga dan namanya semakin dikenal karena karya istimewanya yang sangat menganggumkan itu.
Namun dalam hati Purucona menjadi tidak tega, jika membayangkan bahwa nanti malam Bale yang ia bangun dengan megahnya akan berubah menjadi kobaran api dan akan membakar orang-orang yang tak berdosa.
Tamu undangan telah memenuhi ruangan pesta, namun Patih Sengkuni, Doryudana, Dursasana dan para Korawa belum lega. Tamu istimewa yang mereka tunggu-tunggu belum datang, siapa lagi kalau bukan Kunti dan anak-anaknya. Karena pesta yang dibuat ini memang sengaja diadakan untuk mereka.
Sebelum memasuki lokasi pesta, Kunthi dan par Pandawa ditemui oleh Kanana, utusan Yamawidura. Ada pesan khusus yang harus ia sampaikan kepada Bimasena, tetapi sebelum Ia sempat berterus terang apa yang akan terjadi dan apa yang harus dilakukan Bimasena, ia terburu-buru pergi karena takut ketahuan Sengkuni dan warga Korawa.
Kunti, Puntadewa, Bimasena, Arjuna, Sadewa dan Nakula pun akhirnya tiba di lokasi pesta. Patih Sengkuni dan Doryudana tergopoh-gopoh menyambut kedatangan mereka. Keramahtamahan Sengkuni dan Doryudana dalam menyambut Kunti dan Pandawa memang berlebihan hingga membuat risi para tamu yang hadir. Namun tidak untuk Kunthi dan para puteranya, mereka menganggap itu adalah wujud penghormatan khusus sesame saudara.
Suasana pesta memang sungguh meriah, para petugas acara pesta menjalankan tugasnya dengan baik dan rapi. Aneka hidangan dikeluarkan tak pernah henti membuat semua yang hadir terhanyut dalam suasana yang memabukkan. Para Korawa kecuali Sengkuni, Doryudana dan Dursasana sudah tidak bisa mengendalikan diri mereka sendiri. Karena melihat suasana pesta yang semakin tidak terkendali, akhirnya pesta terpaksa dihentikan.
Keadaan menjadi hening, dan pesta yang semula dirancang unuk membawa Kunti dan para Pandawa terhanyut terlebih dulu dalam suasana pesta, tetapi yang terjadi justru sebaliknya. Para Korawa justru lebih dulu tidak berdaya karena terlalu hanyut dalam kemeriahan pesta.
Sengkuni menjadi bingung, bagaimana bisa melaksanakan rencananya, jika para Korawa justru mabuk dan sulit membawa mereka keluar dari Bale Sigala-gala.
Sementara itu Kunti dan Nakula menuju ke ruang belakang, mereka melihat enam pertapa tertidur nyenyak sekali di lantai, nampaknya mereka sangat kelelahan. Dewi Kunti menyapa mereka dengan lembut “ Selamat malam sang pertapa, selamat beristirahat dan sampai jumpa di esok hari.”
Malam merambat menuju pagi, dari kejauhan terdengar suara kentongan yang berbunyi dua kali, dan itu menandakan bahwa waktu menunjukkan pukul dua dini hari. Sampai di ruang belakang Kunti melihat Yudhistira, Bimasena, Arjuna dan Sadewa masih terjaga. Dan yang mengejutkan, di antara mereka ada seorang abdi dari Panggombakan, orang terdekat Yamawidura yaitu Kanana, sang ahli pembuat terowongan.
Kanana kemudian memohon agar diberi kesempatan untuk menjelaskan suatu hal rahasia dengan tanpa didengar orang lain, selain Dewi Kunthi dan anak-anaknya. Pintu ruangan ditutup perlahan, mereka memusatkan perhatian dan pandangan kepada Kanana.
Kanana kemudian memulai mengungkapkan apa hala rahasia itu, “ Mohon Maaf sebelumnya, Ibu Kunthi dan pra Putra, beberapa pekan lalu, saya diperintahkan untuk membuat terowongan rahasia sebagai jalan penyelamatan jika sewaktu-waktu terjadi bencana di pesta Bale Sigala-gala. Terutama kepada Raden Bimasena, Bapa Yamawidura mengingatkan agar selalu waspada dan bertindak cepat untuk menyelamatkan Ibu Kunthi beserta saudara-saudaranya, jika sewaktu-waktu bencana benar-benar terjadi, dan inilah pintu terowongannya itu.”
Kunthi dan para Pandawa ternganga mendengar penjelasan Kanana, mereka tidak menyangka bahwa lantai yang beralas permadani itu ternyata mudah dibuka. Kanana membuka pintu terowongan yang ia buat, ada tangga yang menuju ke pintu terowongan melalui lobang itu. Kemudian ia berkata, “Terowongan inilah yang akan membawa kita sampai di bawah bukit dengan selamat”.
Baru saja Kanana akan menutup pintu terowongan kembali, mereka dikejutkan oleh cahaya merah yang tiba-tiba saja menjadi besar. Bale Sigala-gala dibakar.
Saat itu Kunti teringat dengan ke enam pertapa yang tidur nyenyak tidak jauh darinya. Tetapi ketika ia akanmembuka pintu, ternyata pintu sudah dikunci dari luar. Kunti sempat berteriak, “ Selamat malam Sang Pertapa”. Kunthi masih berusaha membuka pintu tetapi ia langsung disaut oleh Bimasena, dan bersama para Pandhwa, dibawa masuk ke pintu terowongan. Kanana bergerak cepat menutup pintu, setelah ia memastikan bahwa Kunti dan para Pandawa telah masuk terowongan.
Bale Sigala-gala yang dibangun indah dan megah habis dilalap api. Purucona sang arsitek, juga menjadi korban. Ia dipaksa untuk menyulut Bale Sigala-gala yang memang dirancang dengan bahan yang mudah terbakar. Namun setelah api membesar, ia dilepar ke dalam api oleh para pengawal yang memang sudah dipersiapkan. Konsep Bale Sigala-gala yang ia bangun, sebenarnya agar para tamu yang hadir merasa nyaman dan tertarik untuk masuk ke pesanggrahan itu, tidak pernah terpikir olehnya, bahwa bangunan itu dibuat demi sarana untuk melenyapkan para Pandawa.
Selain Purucona, ada enam orang yang menjadi korban, mereka ditemukan di depan pintu runag belakang. Siapa lagi, kalau bukan Kunthi dan kelima anaknya. (Keenam mayat itu adalah mayat keenam pertapa yang tertidur nyenyak saat peristiwa kebakaran itu terjadi).
Malam sudah berganti pagi dan kini sang mentari sudah mulai meninggi. Bukit pesanggrahan Bale Sigala-gala, sudah penuh sesak orang-orang yang ingin memastikan apakah Raden Yudhistira dan keempat saudara beserta Ibunya dapat menyelamatkan diri.
“Inilah mayat Kunthi, walaupun sudah menjadi arang, masih kelihatan bahwa ini adalah mayat seorang wanita. Dan yang lima ini adalah anak-anaknya, yaitu: Yudhisthira, Bimasena, Herjuna, Nakula dan Sadewa.” Denga penuh keyakinan, Sangkuni meyakinkan bahwa keenam mayat tersebut adalah Kunthi dan Pandhawa lima.
Para rakyat bersedih, para kawula menangis, meliat keenam mayat yang diyakinkan Sengkuni adalah mayat Kunthi dan anak-anaknya. Par kawula pedesan datang, bersimpuh mengelilingi keenam mayat tersebut. Rasa hormat dan rasa cinta yang begitu tinggi yang ditunjukkan rakyat Hastinapura kepada Pandawa meskipun sudah menjadi abu, membuat Sengkuni dan Para Korawa panas hatinya. Maka, segeralah Patih Sengkuni membubarkan para kawula padesan itu.